Inflasi adalah salah satu indikator penting dalam menganalisis
perekonomian sebuah negara selain pertumbuhan ekonomi dan penganguran. Inflasi
juga sebuah dilema yang menghantui perekonomian setiap Negara karena kebijakan
yang diambil untuk mengatasi inflasi sering menjadi pisau bermata dua yang akan
berdampak pada tingkat penganguran seperti yang dijelaskan oleh teori trade-of
antara inflasi dan penganguran.
Perkembangan tingkat inflasi yang semakin meningkat akan memberikan
hambatan pada pertumbuhan ekonomi secara agregat, diantaranya keseimbangan
eksternal, daya saing, tingkat bunga bahkan distribusi pendapatan. Kegagalan atau
terjadinya shock (guncangan) dalam negeri akan menimbulkan fluktuasi harga
di pasar domestik yang berakhir dengan peningkatan inflasi pada perekonomian.
Inflasi juga berperan dalam mempengaruhi mobilsasi dana lewat lembaga
keuangan formal. Tingkat harga merupakan oportunity cost bagi masyarakat dalam
memegang holding (aset financial). Artinya pada tingkat harga tingi maka
masyarakat akan merasa beruntung jika memegang aset dalam bentuk ril dibanding
aset financial (uang)
Jika aset financial luar negeri dimasukan sebagai salah satu pilhan aset,
pada perekonomian terbuka, maka perbedan tingkat inflasi dalam negeri dan
internasional dapat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing menjadi
overvalued dan akhirnya mengurangi daya saing produk Indonesia.
Inflasi yang merupakan variabel makro ekonomi selain pertumbuhan dan
penganguran semestinya mendapatkan perhatian penuh dari Pemerintah dalam hal
menjaga tingkat kestabilanya. Namun ditahun 198 Bank Indonesia (BI) sebagai
instiusi yang bertangung jawab terhadap kestabilan tingkat inflasi malah lebih
mendominasikan sasaran kebijakan moneter pada nilai tukar.
Setelah disahkanya Undang-Undang No. 3 Tahun 199 BI akhirnya
memfokuskan kebijakanya pada pencapaian kestabilan nilai rupiah dengan
menempatkan inflasi sebagai landasan dalam kebijakan moneter dan di tahun 200,
Inflasi Targeting (IT) secara emplisit diterapkan di Indonesia dengan mengumumkan
target inflasi secara transparan kepada publik.
Setelah dahsyatnya goncangan krisis financial (198) yang merembet pada
krisis kepercayan, Ekonomi Indonesia mulai bergerak dan bangkit kembali, namun
di tahun 204 perlahan kondisi ekonomi Indonesia mulai merasakan tekanan imbas
dari kenaikan harga Minyak dunia dengan diumumkanya kenaikan harga BBM oleh
Menteri Kordinator Perekonomian Abu Rizal Bakri pada tangal 1 Maret 204.
Selanjutnya, selama tahun 205 harga minyak dunia mengalami lonjakan
yang cukup tajam yaitu dari perkiran sekitar 25 dolar/barel menjadi 51,4
dolar/barel. Harga minyak yang melambung mengakibatkan subsidi bahan bakar minyak yang membengkak, untuk mengatasi beban subsidi tersebut maka pemerintah
melakukan langkah penyesuaian melalui pengurangan dan relokasi subsidi bahan
bakar minyak (BBM) dalam negeri yaitu meningkatkan harga BBM pada tangal 1
Maret 205 rata-rata 30% dan 1 Oktober 205 sekitar 10%.
Kenaikan BBM tetap saja menjadi beban tidak hanya masyarakat miskin
bahkan pada masyarakat ekonomi menengah, masyarakat harus menangung dua kali
peningkatan inflasi, yang pertama sat kenaikan harga minyak diumumkan, pasar
langsung bereaksi dengan respon naiknya tingkat harga dan yang kedua sat
kompensasi BLT dibagikan, pasar kembali merespon dengan naiknya tingkat harga
akibat pertambahan jumlah uang beredar yang lebih tingi dari output.
Inflasi sesunguhnya mencerminkan kestabilan nilai mata uang. Stabiltas
tersebut tercermin dari stabiltas tingkat harga yang kemudian berpengaruh terhadap
realisasi pencapaian tujuan pembangunan ekonomi suatu negara seperti pemenuhan
kebutuhan dasar, pemeratan distribusi pendapatan dan kekayan, perluasan
kesempatan kerja dan stabiltas ekonomi.
Faktor-faktor pemicu tingkat inflasi dipengaruhi oleh berbagai faktor,
sebagian ditentukan dari sudut pandang teori inflasi yang dianut. Pada kasus
perekonomian di Indonesia paling tidak terdapat beberapa faktor yang baik secara
langsung maupun secara psikologis dapat mendorong trend kenaikan tingkat inflasi.
Faktor ekonomi dan non-ekonomi yang diperkirakan mempengaruhi tingkat inflasi
di negara kita antara lain berasal dari variabel domestik dan variabel eksternal.
Variabel domestik diantaranya berasal dari peningkatan jumlah uang beredar,
terjadinya tekanan atau shock yang biasa berasal dari permintan maupun penawaran, GDP, tingkat suku bunga, kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga BBM,
kenaikan gaji pegawai sementara variabel eksternal diantaranya nilai tukar tingkatan
inflasi negara lain seperti Amerika.
Sat ini inflasi di negara kita lebih banyak dipengaruhi oleh lonjakan harga
minyak bumi di pasar internasional, yang dapat mendorong lebih lanjut biaya
pengadan sumber energi listrik dan bahan bakar untuk sebagian besar pabrik-pabrik
pengolahan.