Menurut McCracken (1988: 16), “Penelitian kualitatif berupaya menemukan pola antar-kaitan dari berbagai kategori, bukan membatasi secara tajam hubungan antara sejumlah kategori terbatas.” Seringkali penelitian kualitatif terkesan “melebar”, sementara penelitian kuantitatif “menyempit” ke satu sampai tiga variabel saja. Selain itu, penelitian kualitatif juga cenderung “mendekat” ke wilayah (teritori) atau lingkup fenomena yang dikaji, berlawanan dengan penelitian kuantitatif yang membuat jarak melalui penggunaan alat atau mekanisme artifisial (buatan manusia) untuk mengukur fenomena (Van Maanen, 1979). Hal lain yang berbeda dalam pendekatan kualitatif adalah sisi pandang filosofis yang mendasarinya, yaitu sisi pandang “interpretivist” (mengandalkan interpretasi peneliti, sehingga sering disebut penelitian subjektif). Peneliti kualitatif menempatkan diri sebagai seseorang yang melakukan interpretasi, memahami, mengalami, dan bahkan juga menghasilkan (terlibat di dalam) fenomena sosial yang ditelitinya (Mason, 1996). Pengertian “interpretasi” ini juga perlu dipahami sebagai upaya melibatkan pendapat subjektif orang-orang yang diteliti.
![]() |
Foto: Ilustrasi |
Di bidang IP&I peningkatan penggunaan pendekatan kualitatif ini sejalan dengan semakin seringnya kritik terhadap orientasi yang terlalu terfokus pada mekanisme dan prosedur pengukuran. Selain itu pendekatan kualitatif dalam IP&I juga didorong oleh perhatian kepada aspek manusia dalam kepustakawanan sebagai bagian dari orientasi sosial-budaya. Pembahasan tentang ini, termasuk yang terjadi di Indonesia, telah dilakukan oleh penulis sebelumnya dan tak akan diulangi di sini (lihat Pendit, 2009a). Cukup dikatakan bahwa keinginan untuk lebih mempelajari aspek kemanusiaan dan sosial-budaya sudah pula diungkapkan sejak 1970an. Curtis Wright di pertengahan 1970an dengan tegas mengatakan bahwa kepustakawanan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai ilmu pasti-alam dan ia dengan jelas menganjurkan alternatif interpretivisme sebagai pengganti positivisme dalam ilmu perpustakaan dan informasi. Satu dekade kemudian, kritik terhadap positivisme di IP&I kembali mencuat dan mendorong maraknya penelitian yang menggunakan interpretivisme. Metode kualitatif semakin populer setelah beberapa penulis menguraikan secara lebih rinci teknik dan prosedur kualitatif, seperti misalnya yang dilakukan Natoli (1989), Mellon (1990), dan Glazier dan Powell (1992). Pembahasan tentang penggunaan penelitian kualitatif di bidang IP&I dapat dilihat di Pendit (2003) sedangkan contoh penggunaan interpretivisme di Indonesia dapat dilihat di Pendit (2000).
Dari segi penggunaan teori, pendekatan kualitatif dan metodologi interpretif ini seringkali dikatakan bertujuan “mengembangkan” teori berdasarkan pemahaman yang diperoleh di lapangan. Penelitian kualitatif cenderung fleksibel dan beragam, mengikuti keragaman fenomena sosial yang dinamis (Carson et al., 2001). Teori dalam penelitian kualitatif digunakan di bagian awal sebagai panduan saja. Di lapangan penelitian, para peneliti lalu menggunakan interpretasinya untuk memahami persoalan yang sedang diteliti. Ini amat berbeda dari penelitian kuantitatif di atas, yang menggunakan hukum dan model untuk menguji teori dan mengukur suatu kinerja. Dalam bidang IP&I penelitian interpretif cenderung digunakan untuk memahami persoalan perpustakaan, bukan mengukurnya. Atau, sebagaimana diistilahkan oleh Dick (1999), penelitian interpretif lebih cocok untuk meneliti makna perpustakaan (what libraries mean) di masyarakatnya; sementara penelitian kuantitatif adalah untuk mengukur kinerja (what librarians do) di masyarakatnya.
Berdasarkan perbedaan dalam filosofi dan pendekatan sebagaimana diuraikan di atas, maka teori-teori yang digunakan untuk penelitian kualitatif pun agak berbeda dari yang digunakan dalam penelitian kuantitatif. Pada umumnya, teori-teori penelitian kualitatif datang dari teori sosial (sosiologi) dan budaya (humaniora). Menurut situs Research Methods Knowledge Base ada empat aliran atau teori utama9 yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu etnografi, fenomenologi, field research, dan grounded theory. Tidak pada tempatnya jika artikel ini membahas secara rinci tentang keempat teori tersebut. Penjelasan umum tentang penggunaan teori ini dapat dilihat pula di Pendit (2009b) yang menambahkan interaksionisme simbolik dan hermenitika sebagai bagian dari teori-teori utama dalam penelitian kualitatif. Secara ringkas contoh-contoh penggunaan teori-teori tersebut akan diuraikan berikut ini.
- Contoh penggunaan etnografi adalah penelitian Crabtree dan kawan-kawan (2000) di sebuah perpustakaan perguruan tinggi yang sedang mengembangkan sistem informasi. Dipandu oleh teori-teori interaksi sosial dari Anthony Giddens dan Harold Garfinkel10, mereka sekaligus menggunakan penelitian tersebut sebagai bagian dari perancangan sistem (system design). Contoh lainnya adalah sebuah proyek penelitian berkelanjutan bernama ERIAL (Ethnographic Research in Illinois Academic Libraries), yang dapat dilihat di situs mereka (http://www.erialproject.org/). Penggunaan etnografi di bidang IP&I memang cukup marak sejak 1980an ketika antropologi mulai dilirik para peneliti (lihat Sandstrom dan Sandstrom, 1995, dan Sandstrom, 2004). Untuk pembahasan lebih lengkap, dapat dibaca uraian Dent-Goodman (2011) yang selain memaparkan sejarah penggunaan pendekatan ini, juga memberikan beberapa contoh penelitian yang menggunakannya. Jelaslah bahwa etnografi dalam IP&I digunakan untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana komunitas dan kelompok masyarakat tertentu memaknai perpustakaan dan lembaga-lembaga informasi yang mereka gunakan. Sebagai metode yang “diimpor” dari antroplogi, etnografi membantu para peneliti IP&I mengaitkan perilaku penggunaan informasi dengan konteks budaya, mulai dari kebiasaan sampai ke tingkat adat istiadat. Di Indonesia, Laksmi (2011) menggunakan etnografi untuk meneliti budaya kerja di perpustakaan umum.
- Contoh penggunaan fenomenologi adalah penelitian Dalbelo (2005) terhadap pengembangan perpustakaan digital di lingkungan Library of Congress dengan menggunakan teori perubahan teknologi dan konstruksi sosial atau SCOT (Social Construction of Technology). Selain itu, penelitian-penelitian perilaku informasi (information behaviour) juga sering menggunakan fenomenologi, seperti yang telah dibukukan oleh Savolainen (2008). Penelitian fenomenologi dalam bidang IP&I ini banyak menggunakan teori dari para pionir seperti Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan Paul Ricoeur. Sebagaimana dikatakan Budd (2005) teori mereka menarik sebab banyak menyangkut masalah persepsi, kesadaran yang bermaksud (intentionality), dan pola interpretasi yang bisa dikaitkan dengan proses pencarian informasi secara individual. Secara khusus Budd melihat potensi penggunaan teori-teori fenomonologi untuk kajian tentang komunikasi dan dialog yang harus dilakukan seseorang ketika ia mencari informasi. Sebagaimana diketahui, fenomenologi juga merupakan aliran ilmu (school of thought) yang memfokuskan perhatian pada pengalaman subjektif manusia dan cara manusia menginterpretasi atau memahami dunianya. Ini amat cocok untuk kajian- kajian pemakai dari segi psikologi atau psikologi-sosial. Di Indonesia, contohnya adalah Damayani (2011) yang menggunakan fenomenologi untuk mengkaji komunitas baca di Bandung.
- Kajian Ellis (1993) adalah contoh penggunaan grounded theory dalam bidang IP&I. Dalam penelitiannya, Ellis mencoba memahami perilaku pencarian informasi para peneliti di tiga bidang penelitian berbeda, yaitu sains, ilmu sosial, dan ilmu budaya (humaniora). Sebagaimana diketahui Grounded Theory merupakan pendekatan kualitatif yang pada awalnya dikembangkan Glaser dan Strauss (1967) untuk penelitian sosial. Sebagai metode, pendekatan ini menekankan proses menghasilkan teori dari penyelidikan di lapangan, sebagai kebalikan dari menggunakan teori untuk mengukur fenomena di lapangan; dengan kata lain, teori selalu dibumikan (grounded). Di Indonesia, grounded theory antara lain digunakan oleh Pendit dan Wijayanti (2009) dan Suryati (2009).