Kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir di Indonesia, atau
disingkat kawasan konservasi, memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai
sebuah sistem pendukung kehidupan. Meski demikian, karakteristik biologis dan
kepentingan pengelolaannya yang kompleks menyebabkan selama ini kawasan
konservasi belum dikelola secara efektif sehingga mengalami kerusakan secara terus
menerus. Hal tersebut mendorong dilakukannya penelitian ini yang bertujuan untuk
mengetahui kondisi terkini pengelolaan kawasan konservasi, efektivitasnya, dan
strategi pengelolaannya.Penelitian dilakukan pada 23 kawasan konservasi dengan menggunakan
pendekatan Rapid Assessment and Prioritisation of Protected Areas Management
(RAPPAM). Hasil RAPPAM menunjukkan bahwa 23 kawasan konservasi yang
diteliti memiliki nilai biologis maupun ekonomis tinggi tetapi sebagian besar kawasan
konservasi tersebut belum dikelola secara efektif. Beberapa diantara kawasan
konservasi tersebut mengalami tekanan dan ancaman yang tinggi yang mengarah
pada kerusakan kawasan konservasi dalam jangka panjang. Kondisi ini sulit diatasi
karena karakteristik nilai penting ekonomis biologis, efektivitas pengelolaan, dan
tekanan dan ancaman yang dialami masing-masing kawasan konservasi berbeda-beda
sementara sumberdaya pemerintah sangat terbatas untuk melakukan perbaikan secara
menyeluruh.
Penggunaan analisis multivariabel berhasil mengkategorikan kawasan konservasi
tersebut kedalam 16 kategori strategi pengelolaan yang merupakan kombinasi strategi
internal berupa penguatan kapasitas dan strategi adaptasi eksternal berupa kolaborasi
pengelolaan. Strategi yang dihasilkan RAPPAM lebih sesuai untuk kebijakan
nasional, Untuk dapat diaplikasikan di tingkat kawasan konservasi masih dibutuhkan
analisis lanjutan berdasarkan kondisi masing-masing kawasan sehingga diperoleh
suatau strategi yang menjawab kebutuhan lokal kawasan tapi tetap dalam kerangka
kebijakan nasional.Kelompok kawasan konservasi rawa dan mangrove terutama Taman Nasional
Ujung Kulon, Kutai, Rawa Aopa, dan Wasur memerlukan kombinasi strategi internal
dan eksternal melalui peningkatan sumber-sumber pendanaan dan pengembangan
kegiatan rehabilitasi ekosistem berbasis masyarakat. Kelompok terumbu karang
terutama Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan Karimun Jawa memerlukan
strategi eksternal yang kuat dengan membuka ruang dialog lebih luas dengan
masyarakat dan pengembangan mata pencaharian ramah lingkungan. Sebaliknya
kelompok hutan pantai terutama Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Siberut, dan
Baluran membutuhkan strategi internal yang kuat melalui pengembangan kegiatan
wisata ramah lingkungan dan pemanfaatan yang bijaksana hasil hutan non kayu.
Lahan basah pesisir menurut definisi dalam Konvensi Ramsar adalah daerah di
pesisir yang tergenang air baik secara periodik maupun terus menerus termasuk
perairan laut hingga kedalaman tidak lebih dari 6 meter saat surut terendah.
Berdasarkan definisi tersebut yang termasuk dalam lahan basah pesisir meliputi
mangrove, padang lamun, terumbu karang, dataran pasir dan lumpur, pantai berbatu,
estuaria, rawa air tawar, rawa gambut pesisir, laguna, dan berbagai jenis lahan basah
buatan. Luas lahan basah pesisir Indonesia yang memiliki nilai penting secara
internasional tidak kurang dari 15 juta hektar, separuh dari luas seluruh daratan
Malaysia (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004). Dengan jumlah
tersebut Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang memiliki lahan basah
pesisir terluas di Asia.
Lahan basah pesisir memiliki nilai penting secara ekologis, ekonomi, sosial dan
budaya. Secara ekologis, daerah ini kaya akan nutrien yang menyebabkan banyak
organisme yang melewati sebagian atau seluruh siklus hidupnya di lahan basah
pesisir. Lahan basah pesisir Cagar Alam Hutan Bakau Timor di Jambi misalnya,
setiap tahunnya disinggahi sekitar 20.000 burung migran dalam perjalanan
migrasinya dari wilayah belahan bumi utara ke Australia dan Selandia Baru (National
Wetlands Committee for SCS Project, 2004). Termasuk diantaranya burung air
langka Trinil Lumpur Asia (Asian Dowitcher) yang dimasukkan dalam kategori
jarang dalam daftar International Union on Coservation of Nature and Natural
Resources (IUCN).Secara ekonomi lahan basah pesisir menjadi tempat hidup berbagai spesies yang
memiliki nilai ekonomis penting sebagai sumber pangan atau sebagai bahan baku
industri. Sebuah studi nilai ekonomis yang dilakukan oleh Wetlands International –
Indonesia Programme (WIIP) terhadap Taman Nasional Sembilang menunjukkan
bahwa nilai penggunaan langsung kawasan tersebut mencapai US$ 15.000.000 per
tahun (Goenner dan Wibowo, 2002). Nilai-nilai ekonomi tersebut juga dapat menjadilebih penting lagi karena posisinya yang strategis sehingga menjadi jalur pelayaran
penting, terutama di daerah estuari.
Secara sosial budaya lahan basah pesisir telah menjadi pilihan tempat bermukim
masyarakat sejak ratusan tahun silam sehingga masyarakat membentuk karakteristik
sosial yang khas untuk beradaptasi dengan lingkungan lahan basah pesisir. Hal
tersebut ditunjukkan oleh munculnya berbagai tradisi, kesenian, termasuk cerita
rakyat yang berhubungan dengan lahan basah pesisir.Potensi lahan basah pesisir yang dimiliki Indonesia yang sedemikian besarnya
tidak lantas menyebabkan upaya pengelolaannya menjadi lebih baik. Kondisi sosial,
ekonomi, dan politik yang terus menerus terganggu merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan kelemahan pengelolaan tersebut. Akibatnya lahan basah pesisir
menjadi salah satu daerah yang sangat rentan dalam menghadapi kerusakan alam baik
yang disebabkan oleh manusia seperti perubahan iklim, pemanfaatan berlebih,
pencemaran dari darat maupun laut dan akibat bencana alam seperti tsunami dan
badai (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004). Kondisi ini jika dibiarkan
terus, secara langsung akan menjadi ancaman bagi manusia. Hal tersebut disebabkan
oleh karena fungsi dan nilai penting lahan basah seperti yang disebutkan di atas jika
mengalami kerusakan akan menyebabkan lahan basah tidak bisa lagi menjadi sistem
pendukung kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologis.
Sebaliknya, lahan basah pesisir yang sehat akan mendukung penyediaan pangan
bagi manusia, menyediakan lingkungan yang sehat, memiliki fungsi mitigasi terhadap
bencana alam dan akan membantu manusia dalam beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan global. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa perlindungan dan
pemanfaatan secara bijaksana terhadap lahan basah pesisir harus merupakan bagian
penting dalam kegiatan manusia.
Kebijakan dan pengelolaan lahan basah memiliki kerumitan tersendiri
dibandingkan dengan kawasan lain di wilayah daratan. Hal ini antara lain disebabkan
oleh pengelolaan lahan basah bersifat sangat kompleks yaitu: (1) terdiri dari berbagaitipe ekosistem/habitat; (2) dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan; dan (3) dikelola
oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholder). Lahan basah juga memiliki
keterkaitan ekologis yang mencakup wilayah sangat luas bahkan melintasi batas
negara. Akibatnya pengembangan kebijakan harus memperhatikan isu dari skala
pengelolaan lokal, nasional, regional, hingga internasional.
Menyikapi hal tersebut di atas, berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh
pemerintah dalam pengelolaan lahan basah pesisir. Perbaikan pun terus dilakukan
untuk menjawab perubahan paradigma pengelolaan dan penemuan terbaru mengenai
lahan basah. Salah satu perubahan mendasar kebijakan pengelolaan lahan basah di
Indonesia adalah adanya proses desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam
termasuk lahan basah. Perubahan tersebut ditandai dengan terbitnya Undang-undang
No 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan melalui Undang-undang No 32
Tahun 2004. Berbagai kebijakan yang diterapkan untuk mengelola lahan basah
pesisir tentu saja berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap
kemampuan lahan basah pesisir dalam dalam mempertahankan nilai dan fungsinya
sebagai sistem penunjang kehidupan, pengawetan keaneragaman hayati, dan
pemanfaatan secara lestari.
Minat masyarakat umum, LSM, lembaga donor, bahkan pemerintah daerah untuk
mengetahui perkembangan pengelolaan kawasan konservasi belakangan ini juga
semakin besar. Hal ini berkaitan erat dengan kecenderungan masyarakat yang
semakin membutuhkan adanya akuntabiltas publik pada berbagai kegiatan yang
berdampak pada masyarakat atau lingkungan, termasuk pengelolaan kawasan
konservasi. Keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian multilateral yang berkaitan
dengan pelestarian sumbedaya alam seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati dan
Konvensi Ramsar juga mensyaratkan adanya kegiatan penilaian tingkat keberhasilan
konservasi dimasing-masing negara anggota.