Penelitian mengenai hubungan keanekaragaman burung dengan lansekap
Taman Kota Bandung telah dilakukan dari bulan September 2005 sampai Agustus
2006. Metode pengumpulan data burung dilakukan dengan teknik line transect,
sedangkan data variabel lansekap dikumpulkan dengan teknik jelajah dan pencitraan
sistem informasi geografi Kota Bandung berdasarkan citra satelit SPOT-5 dengan
menggunakan software GRASS. Terdapat 50 jenis burung yang menggunakan enam
taman kota sebagai habitatnya yang didominasi oleh kelompok insektivora (47,22 %),
sedangkan jenis yang paling mendominasi Taman Kota Bandung adalah Burung
Gereja (Passer montanus) sebesar 40,3 %. Indeks keanekaan dan perataan burung
tertinggi terdapat di Taman Merdeka (H1 = 2,417; J1 = 0,524) sedangkan indeks
keanekaan dan perataan burung terendah terdapat di Taman Tegallega (H1 = 1,543; J1
= 0,524).
Jumlah jenis burung tertinggi terdapat di Taman Ganesha (36 jenis),
sedangkan jumlah jenis burung terendah terdapat di Taman Cilaki (20jenis). Dari 69
variabel lansekap yang diuji hubungannya dengan indeks keanekaan, indeks perataan,
dan jumlah jenis burung pada enam taman kota, terdapat empat variabel lansekap
yang berkorelasi secara signifikan, yaitu: luas taman, perimeter standar deviasi pada
vegetasi rumput, ukuran bercak rata-rata, dan ukuran bercak standar deviasi pada
vegetasi rumput. Dilihat dari perbandingan jarak taman kota dengan pengukuran
secara langsung dan melalui adanya koridor hijau, jumlah jenis burung di setiap
taman kota tidak menunjukkan perbedaan, kecuali di Taman Ganesha dan Taman
Tegallega. Keanekaragaman burung di Taman Kota Bandung dipengaruhi oleh
komposisi jenis pohon dan stratifikasi vegetasi penyusun setiap taman kota.
Kota Bandung memiliki ruang terbuka hijau termasuk taman-taman kota yang
terdapat di dalamnya. Taman-taman kota tersebut memiliki sejarah yang cukup
panjang, yaitu sejak zaman kolonial Belanda pada tahun 1917 (Kunto, 1986).
Pada
mulanya taman kota mempunyai dua fungsi yaitu untuk memberikan kesempatan
rekreasi masyarakat (baik aktif maupun pasif) dan memberikan efek visual dan
psikologis yang indah, akan tetapi seiring dengan perkembangannya fungsi tersebut
kemudian meningkat meliputi fungsi-fungsi lainnya seperti ekologis, rekreasi dan
olah raga (Husodo dkk., 2003).
Taman kota memiliki fungsi ekologis yaitu sebagai tempat hidup satwa liar
seperti burung dan serangga (Husodo dkk., 2003). Burung merupakan salah satu
komponen komunitas taman yang dinilai penting karena dapat membantu
penyerbukan bunga, penyebaran biji dan mencegah kerusakan tanaman dari serangan
serangga (Ford 1989 dalam Megantara 1994)
Secara umum seluruh wilayah Kota Bandung dan sekitarnya merupakan
habitat burung, mulai dari taman hingga gedung-gedung bertingkat. Hal ini
menunjukkan bahwa burung dapat hidup di setiap tipe habitat selama memenuhi
persyaratan, seperti aspek dari struktur dan stratifikasi vegetasi, perbungaan, sumbermakanan, mikroklimat, kehadiran spesies lain, dan tempat berlindung atau sarang
(Wiens, 1989).
Inventarisasi burung di Kota Bandung telah dimulai sejak tahun 1934 ketika
Chauvigni de Blot berhasil mencatat sebanyak 70 jenis (Kunto, 1986). Sekitar 45
tahun kemudian, Iskandar (1979) mencatat 22 jenis burung. Tahun 1990, Kobayashi
melakukan inventarisasi singkat di wilayah pusat Kota Bandung dan berhasil
mencatat 42 jenis burung. Empat tahun kemudian Megantara dkk. (1994) mencatat 36
jenis pada penelitian di taman kota, sedangkan Nurwatha (1995) mencatat 34 jenis
dari penelitian di tiga taman kota. Jumlah burung yang sama diperoleh dari hasil
penelitian Ariesusanty (2003) yaitu 24 jenis burung yang terdapat di beberapa tempat
di Kota Bandung.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Megantara dkk. (1994) taman
kota yang cukup potensial jumlah jenis burungnya adalah Taman Maluku, Taman
Ganesha, Taman Cilaki dan Taman Merdeka, kondisi tersebut didukung oleh struktur
vegetasi yang memadai seperti kondisi pohon besar stratifikasi vegetasi yang
beragam. Selain faktor vegetasi, keanekaragaman burung juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor fisik dan biologis lainnya pada suatu lansekap (bentangan) Taman Kota
Bandung. Tumpang tindih antara teknologi infrastruktur (bangunan-bangunan
perkotaan) dengan struktur alamiah yang terjadi pada suatu bentangan Kota Bandung
dapat mempengaruhi proses-proses ekologi, seperti yang terdapat pada suatu
komunitas, contohnya keanekaragaman burung. Von Humbolt dalam Ferina (1998)
menjelaskan bahwa karakter total dari suatu wilayah yang terjadi tumpang tindih
tersebut dinamakan lansekap.
Lansekap Taman Kota Bandung terdiri dari ekosistem alami dan ekosistem
non alami yang komponen-komponennya saling berinteraksi membentuk suatu
kesatuan heterogenitas ruang. Faktor-faktor lansekap yang saling berinteraksi tersebut
diperkirakan dapat mempengaruhi keanekaragaman burung di Taman Kota Bandung.
Oleh karena itu untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara keanekaragaman
burung dengan lansekap Taman Kota Bandung perlu dilakukan penelitian secara
komprehensif.
Penelitian keanekaragaman burung dengan menggunakan data Sistem
Informasi Geografi (SIG) di Kota Bandung belum pernah dilakukan sebelumnya.
Keistimewaan SIG adalah dapat beradaptasi dengan bermacam kondisi,
memaksimalkan potensi dari informasi terbaru dengan cara mengkombinasikan data
yang ada dengan variabel dinamik (Morain, 1999). Penelitian ini merupakan
penelitian yang menggabungkan antara data lapangan dengan data citra satelit dan
antara data burung dengan data lansekap Taman Kota Bandung.