Penelitian mengenai penggunaan formasi vegetasi oleh jalak putih (Sturnus
melanopterus, Daudin, 1800) di Cagar Alam Pulau Dua, Propinsi Banten, telah
dilakukan dari bulan April sampai dengan bulan Juni 2005. Metode deskriptif analisis
melalui sigi lapangan digunakan pada penelitian ini. Lokasi penelitian intensif
diperoleh dari survey grid di seluruh lokasi penelitian menggunakan teknik
systematic aligned sampling (Williams, 1991). Struktur formasi vegetasi lokasi
penelitian digambarkan melalui diagram profil tumbuhan (Bibby, dkk., 1992; Mueller-
Dumbois, 1974), sedangkan data aktivitas jalak putih diperoleh dengan teknik
adlibitum (Altmann, 1974).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalak putih cenderung menggunakan
empat tipe formasi vegetasi meliputi Kayu Hitam (Diospyros maritima), Bakau-Bakau
(Rhizophora apiculata – Sonneratia alba), Waru Laut (Thespesia populnea), dan
Semak Belukar untuk lima katagori aktivitasnya berupa memelihara tubuh, pemilihan
tempat berlindung, makan dan pemilihan makanan, terbang, serta bersuara.
Seluruh katagori aktivitas dilakukan jalak putih pada setiap formasi vegetasi
dengan rata-rata proporsi paling tinggi pada formasi vegetasi Kayu Hitam (Diospyros
maritima) (ẍ=64,07%) dan paling rendah pada formasi Bakau-bakau (Rhizophora
apiculata – Sonneratia alba) (ẍ=8,79%). Aktivitas pemilihan tempat berlindung
mempunyai proporsi tertinggi pada setiap formasi vegetasi dengan rata-rata proporsi
sebesar 39,91%. Untuk seluruh aktivitas di seluruh formasi vegetasi, pemilihan
tempat berlindung pada formasi vegetasi Kayu Hitam (Diospyros maritima)
mempunyai proporsi tertinggi sebesar 27,72% dan terendah adalah aktivitas
memelihara tubuh (0,40%) pada formasi Semak Belukar.
Perubahan penggunaan lahan hutan secara besar-besaran selama 150 tahun
terakhir menyebabkan sisa-sisa ekosistem alami di Jawa dan Bali terpenggal-penggal
dan sempit (Whitten, dkk., 1999). Kurang dari 10 % luas pulau Jawa dan Bali yang
masih tertutup hutan berupa bercak-bercak kecil di lokasi Cagar Alam dan Taman
Nasional dengan vegetasi alami yang tersisa serta keanekaan faunanya tinggal
sedikit (MacKinnon, dkk., 2000; Whitten, dkk., 1999; Rudyanto, 1996). Hilangnya
vegetasi menyebabkan berbagai fauna terdesak menuju sisa habitat yang
terfragmentasi, sehingga tingkat keterancaman akan kepunahan menjadi sangat
tinggi.
Avifauna Jawa dan Bali telah menjadi contoh betapa pentingnya kondisi
habitat terhadap kelangsungan hidup fauna yang menghuninya (MacKinnon, dkk.,
2000; Diamond, dkk., 1987). Dari tujuh bioregion yang memiliki sejumlah burung
terancam punah di Indonesia, pulau Jawa dan Bali berada pada urutan tertinggi
setelah Sumatera dengan kondisi habitat endemiknya (Endemic Bird Areas)
berstatus sangat kritis (MacKinnon, dkk., 2000; Whitten, dkk., 1999; van Balen,
1997; Shannaz, dkk., 1995). Salah satu jenis di kedua pulau ini yang status
konservasinya meningkat dalam 10 tahun terakhir adalah Jalak Putih (Sturnus
melanopterus, Daudin, 1800).
Jenis burung endemik Jawa dan Bali ini dahulu sangat
umum ditemukan, namun seiring dengan meningkatnya ancaman terhadap kelestarian jenis ini dan habitat alaminya, populasinya di alam terus menurun
menuju kepunahan dan status keterancamannya pun meningkat tajam sampai pada
kategori jenis Terancam Punah A,1,2 (Lampiran 6) serta masuk ke dalam lampiran II
CITES. (BirdLife International, 2004; Noerdjito & Maryanto, 2001; IUCN 2006;
Tilford, 2000; Muchtar & Setiawan, 1999; van Balen, 1997; Colar, dkk., 1994;
Shepherd, inprep.).
Jalak putih (Sturnus melanopterus, Daudin, 1800) ditemukan tersebar mulai
dari hutan pantai sampai dengan ketinggian 2000 m dpl dan dikenal sebagai jenis
‘typical open woodland bird’ (Cahyadin 1999, dalam Muchtar & Setiawan, 1999).
Berbagai tipe habitat diketahui sebagai tempat beraktivitas burung dari Suku
Sturnidae ini. Penggunaan berbagai tipe habitat sebagai tempat beraktivitas jenis ini
memperlihatkan adanya aktivitas khusus pada setiap tipe vegetasi dalam habitatnya
(Hernowo & Indraprajaya, 1997). Variabel habitat seperti stratifikasi dan bentuk
formasi vegetasi dapat membantu mengetahui lebih jauh hubungan aktivitas khusus
Jalak Putih (Sturnus melanopterus, Daudin, 1800) dengan setiap tipe vegetasi dalam
habitatnya.
Cagar Alam Pulau Dua merupakan satu-satunya lokasi di bagian barat Pulau
Jawa yang tercatat sebagai lokasi sebaran Jalak putih (Sturnus melanopterus,
Daudin, 1800) dengan keanekaragaman habitat berupa tipe formasi vegetasi hutan
mangrove. Formasi vegetasi yang dideskripsikan Milton & Marhadi (1985) dan
Hasudungan (1999) berupa formasi Bakau-bakau (Rhizophora spp.), Kayu Api
(Avicennia marina), Pantai berpasir, Kayu Hitam (Diospyros maritima), Semak
Belukar, dan Waru Laut (Thespesia populnea), menjadi pendukung kehidupan Jalakputih (Sturnus melanopterus, Daudin, 1800) di lokasi ini. Catatan penelitian jalak
putih di Pulau Dua, hanya berupa catatan jumlah dan perjumpaan saja (Noor, 2004;
Milton & Marhadi, 1985; van Balen, kompri.) Sedangkan penelitian spesifik tentang
aktivitas jenis ini terutama yang dihubungkan dengan keberadaan formasi vegetasi,
belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, studi aktivitas Jalak putih (Sturnus
melanopterus, Daudin, 1800) yang dihubungkan dengan keberadaan formasi
vegetasi sebagai habitatnya sangat penting dilakukan.