Sejak tiba di Indonesia 38 tahun lalu, pemimpin perusahaan Grup Indorama, Sri Prakash Lohia, mantap terjun di industri petrokimia. Orang terkaya kedelapan di Indonesia versi majalah Forbes ini membangun pabrik pertamanya di Purwakarta, Jawa Barat. Bermodal awal US$ 10 juta, nilai perusahaan Lohia kini melonjak jadi US$ 7 miliar atau Rp 67,3 triliun. Bisnisnya menggurita di seluruh dunia melalui 20 perusahaan.
Apa saja bisnis Anda hingga sekarang?
Kami mendirikan pabrik pertama di Purwakarta pada 1974. Pabrik pemintalan benang itu baru mulai berproduksi 1975 dengan sekitar 2.000 karyawan. Investasi awal adalah US$ 10 juta. Setelah itu, kami masuk ke bisnis polyester pada 1992, lalu ke polyethylene untuk bahan baku botol, seperti Coca-Cola, Pepsi, dan Aqua. Yang kami produksi adalah resin, bukan botolnya. Pada 1995, kami masuk ke bisnis packaging. Hingga sekarang bisnis packagingkami sudah tersebar di 20 negara dengan sekitar 25 ribu pegawai.
Mengapa tertarik menggeluti bisnis petrokimia?
Saat itu persaingan di Indonesia belum banyak. Di dunia juga hanya ada lima hingga enam orang yang terjun di bisnis ini. Selama masih di bawah sepuluh orang, masih bisa mengontrol dan memberi keuntungan. Tetapi, bila persaingan telah mencapai angka ratusan, akan sulit karena pasar juga terbagi-bagi.
Apakah ada rencana merambah ke sektor lain?
Tidak ada, kami ingin berfokus di bisnis yang sudah ada, yaitu industri dan produksi saja. Indorama masih memiliki proyek dan rencana lain dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. Kami juga melakukan ekspansi hingga ke Nigeria. Awalnya Indorama mengambil alih perusahaan milik pemerintah setempat yang terbengkalai. Setelah dilakukan perbaikan, kami mencoba mengembangkan bisnisnya. Kami tidak mengambil alih pabrik yang bangkrut, tetapi perusahaan yang masih memiliki harapan.
Seberapa besar prospek pasar di Afrika?
Indorama merupakan satu-satunya produsen petrokimia di Afrika Barat dengan produksi 440 ribu ton per tahun. Perusahaan di Afrika merupakan aset yang paling menguntungkan dan paling sukses di Grup Indorama. Dari US$ 600 juta penjualan, perusahaan meraih untung sekitar US$ 300 juta (Baldwa menambahkan, Indorama akan membangun pabrik kedua di bidang urea fertilizer. Nilai investasinya US$ 1,2 miliar. Pabrik pertama dibangun pada 2006).
Sumber: Tempo.co