Adanya batasan masalah dalam sebuah penelitian dapat memperjelas hasil penelitian yang dilakukan dalam penelitian kualitatis batasan - batasan masalahnya adalah sebagai berikut:
Kelayakan etis desain penelitian, karena informasi yang
diperoleh kemungkinan berpotensi merugikan subjek tanpa
sepengatuan dan seijin mereka. Pemakaian data oleh pihak
ketiga juga dapat menimbulkan akibat-akibat serius bagi subjek
dan peneliti.
Contoh kasus:
Penelitian Land Humphrey (1970) tentang perilaku homoseksual,
ditanggapi oleh Kepolisian St. Louis dengan meminta daftar orang-orang
yang berperilaku menyimpang untuk diajukan ke pengadilan.,br>
Penelitian-penelitian rahasia tentang perilaku menyimpang
kemungkinan besar menyebabkan sanksi hukum atau cemoohan
masyarakat terhadap peneliti atau pun subjek penelitian.
Masalah etis lain muncul dari kemungkinan perubahan-perubahan
yang disebabkan dari intensitas interaksi peneliti dengan
komunitas atau subjek yang diteliti. Kebanyakan peneliti berusaha
bersikap netral atau menjadi anggota kelompok, tetapi dapat
terjadi peneliti justru menempati posisi yang dapat mempengaruhi
masa depan kelompok.
Contoh kasus:
Alfred tahun 1976 melakukan penelitian tersembunyi mengenai Gereja
Setan, menghadapi masalah keterlibatan yang semula tidak
dibayangkannya. Kepura-puraannya menjadi anggota satanisme diterima
oleh kelompok sebagai yang sebenarnya, dan dia cepat mendapat
kemajuan status dan kepercayaan dalam kelompok hingga akhirnya dia
diangkat sebagai pimpinan gereja. Meskipun ia berusaha keras tidak
mengubah kelompok, ia mengakui bahwa kehadirannya telah menimbulkan
perubahan pada kelompok tersebut.
Pengamat harus menyadari tanggungjawabnya terhadap
perubahan-perubahan yang disebabkan oleh desain penelitian
atau perubahan yang terjadi secara kebetulan. Peneliti juga harus
menyadari bahwa kehadirannya dalam kelompok yang diteliti telah
menciptakan realitas yang berbeda dari keadaan tanpa
kehadirannya.
Masalah etis yang paling berat adalah terkait dengan
pelanggaran hak-hak individu. Tidak ada pemecahan sederhana
untuk masalah ini. Idealnya, tingkat ketergantungan anggota
kelompok pada peneliti diperkecil, dan kerahasiaan terkait dengan
hal-hal yang peka bagi individu atau kelompok harus dilindungi.
Upaya yang biasa dilakukan adalah dengan menyembunyikan
acuan tempat dan orang pada Laporan Penelitian, sehingga
anonimitas subjek dapat dipertahankan.
Resiko menimbulkan “luka pribadi” pada peneliti. Pada beberapa
kasus, observasi partisipan kadang-kadang menuntut peneliti
kualitatif untuk melanggar ukuran moral pribadi. Sejauh mana
“pengorbanan peneliti” atas moralitas pribadinya, tergantung dari
tingkat partisipasi dan kerahasiaan informasi yang hendak
dihimpun.
Contoh kasus:
Observasi partisipasi dalam kelompok kejahatan menghadapi resiko untuk
ditangkap dan dipenjara, belum lagi resiko mati akibat persaingan antar
kelompok.
Peneliti kualitatif harus memilih dan merancang proyek
penelitiannya secara hati-hati untuk meminimalkan kemungkinan
pelanggaran standar pribadi yang diyakininya, kecuali peneliti
berprinsip “anything goes” untuk ilmu pengetahuan.
Keluwesan model penelitian kualitatif sangat memungkinkan
terjadinya pengumpulan data yang tak terstruktur, yang
mengakibatkan perpanjangan waktu penelitian.
Contoh kasus:
F White harus memperpanjang penelitiannya tiga tahun lagi, karena dari
keterlibatannya dengan kelompok gelandangan yang sudah berjalan tiga
tahun, pada waktu terakhir saja dia baru dapat memahami apa yang terjadi
dalam kelompok masyarakat yang diteliti.
Penelitian kualitatif akan memakan waktu yang lama, bahkan
penelitian kualitatif yang mendalam mengenai keluarga, akan
membutuhkan waktu yang panjang, selama satu masa kehidupan.
Masalah lain yang sering muncul adalah: “terlalu mengidentifikasi
dengan diri subjek penelitian”. Pada proses partisipan dan menjadi
bagian dari masyarakat yang sedang diteliti, sangat terbuka
kemungkinan peneliti kehilangan objektivitasnya dan terbawa
pada pola-pola pikir, sikap dan perilaku subjek yang diteliti
(bahkan sering, misalnya, “lebih Badui” dari orang Badui yang
diteliti). Overidentifikasi-diri dapat menyebabkan “kenaifan”
bahwa peneliti telah merasa telah menemukan “realitas yang
sebenarnya” dari subjek penelitian, terlebih apabila dia berasal
dari latar budaya yang berbeda. Padahal, yang diamatinya hanya
bagian dari keseluruhan populasi, yang dapat saja diwarnai oleh
bias-bias “elitis” karena biasanya “kelompok atas” inilah yang
mendominasi pemaknaan realitas pada kelompok yang diteliti.
Pengamat tunggal, sebagaimana kebanyakan terjadi pada
penelitian kualitatif, menurut perspektif positivistik menghadapi
masalah serius terkait dengan reliabilitas data yang diperoleh.
Namun demikian hal tersebut bukan merupakan masalah bagi
peneliti kualitatif. Para peneliti kualitatif berpendapat bahwa
seperti halnya lukisan gunung yang oleh beberapa seniman
semuanya dinilai “tepat”, walau berbeda satu dengan yang
lain, demikian pula penggambaran subjek penelitian yang sama
oleh beberapa peneliti dapat saja berbeda dan semuanya
“reliabel”.